Kamis, 03 Maret 2011

Film Rusak Budaya Mahasiswa, Benarkah??

Transformasi Budaya : Kemudahan dalam akses segala bidang informasi memungkinkan dunia perfilman menjadi saran transformasi atau pergeseran budaya (Sapta)
      Telah menjadi bagian dari hidup untuk sebuah film yang saat ini kian merebak terutama bagi kaum muda sekaligus peserta didik yang semakin sulit terpisahkan dari tontonan maupun tayangan film baik di Televisi maupun Bioskop. Terjadinya globalisasi apalagi pada era media seperti saat ini, banyak berkembangnya industri media baik elektronik, cetak maupun internet memudahkan setiap orang untuk dapat mengakses informasi mengenai apapun termasuk informasi mengenai dunia perfilman.
      Paradigma dalam perkembangan teknologi informasi dan kapitalisasi ekonomi dalam kebijakan tayangan televisi jelas harus dicermati secara seksama oleh para pengambil kebijakan bidang pendidikan di Indonesia. Sebagai basis pendidikan massal paling efektif, tayangan televisi memiliki peluang untuk mengubah tatanan budaya loKal karena baik konten maupun rancangan program tayangan televisi bisa jadi merupakan manifestasi dan justifikasi superioritas budaya tertentu yang belum tentu semuanya baik (Dighe: 2000).
      Astrid Sastriasari, Artis pelantun lagu “Jadikan Aku yang Kedua”  sekaligus Pengamat dunia perfilman mengatakan bahwa yang pasti hal ini memang sangat mempengaruhi, apa yang ada di film apa yang ada di tv, apapun yang berbentuk visual, memang gampang sekali mempengaruhi segala macam kebiasaan, culture juga jadi bergeser. “Setiap orang memang harus memiliki batasan sediri. Karena memang sekarang itu tayangan televisi sepertinya tidah bisa di stop, kecuali memang ada tayangan-tayangan yang ada batasan, misalnya untuk dewasa, tayangan yang harus didampingi orang tua buat anak-anak yang di bawah umur. Hal seperti itu memang penting. Tapi kalau penontonnya seperti kita-kita ini (dewasa) jatuhnya memang kitanya sendiri yang harus membatasi diri. Kalau memang tayangan di televisi yang
membutuhkan bimbingan orang tua sebaiknya ditayangkan di jam-jam tertentu”katanya.
        Astrid menunjukkan keherannya ketika ada film yang bergenre dewasa tapi orang tua mengajak anaknya untuk menonton padahal anaknya masih benar kecil . “Saya heran ketika saat di bioskop, ada orang tua yang mengajak anaknya yang masih kecil untuk menonton film yang bukan porsinya. Pergeseran budaya saat ini sudah dalam tingkatan yang luar biasa besar, contohnya seperti anak-anak SMP sekarang menonton film dewasa tidak hanya di bioskop tetapi juga dengan mudahnya mengakses di internet. Sebenarnya hal itu memang sudah kacau”.
      Namun dia menambahkan bahwa saat ini perfilman Indonesia mulai bangkit lagi, “Setelah beberapa lama terpuruk, perfilman Indonesia saat ini sudah mulai bangkit, mungkin awal-awalnya selalu genre horor yang memang pasarnya untuk di Indonesia, tapi itu sangat tidak mendidik. Seharusnya memang banyak yang bisa diulas sebenarnya, misalnya tentang budaya dan keterampilan.”tuturnya.

       Mira Tania Jurusan Ilmu gizi Fakultas Ilmu Kesehatan Unriyo mengatakan bahwa Menurutnya dunia perfilman di indonesia itu masih sangat kurang.Dari ceritanya  juga sangat kurang mengangkat bahkan terkadang  kurang mendidik. “ bagi mahasiswa melihat tayangan yang kurang mendidik  mengakibatkan terjadinya seks bebas, membantah sama orang tua karena tayangan yang tak seharusnya ditayangkan ,parahnya lagi terjebak dunia narkoba dan masih banyak lagi”ungkapnya.
      “Menurut saya sejauh ini film indonesia sangat mempengaruhi budaya, misal tata bahasa yang kurang patut di contoh, berpakaian ala kebarat-baratan. Buat para pembuat film,buat lah karya yang lebih baik, lebih mendidik, masukkan jalan cerita yang benar-benar lebih mengangkat kearah kemajuan yang baik”harapnya.
      Hal senada juga disampaikan Pandapotan Rambe Kaprodi Ilmu Komunikasi Unriyo, kebudayaan saat ini telah sangat dipengaruhi oleh tayangan-tayangan film terutama yang lebih dominan adalah sinetron juga film-flm barat, yang mengajarkan logika-logika terbalik. “yang ada itu malah mengajarkan pola konsumtif, yang ditayangkan dalam Televisi pun budaya-budaya luar sering kali ditayangkan, jadi mau tidak mau terbawa, misalnya cara berpakaian, dulu masyarakat muda Indonesia masih memakai pakaian adat tapi pemuda saat ini sangat gengsi kalau memakainya,bahkan mereka bilang, bahasa kerennya jadul (jaman dulu), ini merupakan salah satu dari sekian banyak dari transformasi budaya tersebut”jelasnya.
      Dalam hal tutur kata dan sopan santun pun telah sangat mengalami perubahan yang sangat jauh merosot, padahal kita sebagai orang timur yang terkenal dengan adat sopan santunnya. “Apalagi cara berbicara anak muda saat ini, contohnya mahasiswa ketika ditanya tugasnya, jawaban dari mahasiswa itu hanya karena malas, padahal jawaban ini seenaknya mahasiswa tanpa ada sopan santun dengan orang tua (Dosen), saya lihat saat ini tidak ada batasan tutur kata apakah itu tua atau muda, sama saja. Ada lagi pola konsumtif cara berpakaian seperti distro dan jilbab manohara, itu kan salah satu dampak dari sinetron manohara, jadi untuk kalian para mahasiswa untuk lebih selektif lah dalam menonton film terutama jauhilah sinetron yang tidak mendidik”sarannya.
      Lain halnya Kastoyo Ramelan Wartawan Senior Majalah Batik mengungkapkan bahwa semua tayangan film saat ini ada nilai plus minusnya tergantung  pribadi masing-masing. “Jenis film di Indonesia kan banyak sekali, jadi dari setiap masing-masing film pun punya pengaruh yang berbeda juga misalnya film-film kepahlawanan pangeran diponegoro, tentu film ini baik ditonton untuk semua kalangan terutama anak-anak karena film ini mendidik bagaimana gigihnya seorang pangeran dalam memperjuangkan tanah air. Hal ini akan mempengaruhi diri seseorang mengarah pada kebaikan berbeda kalau film orang dewasa ya memang harus anak-anak tidak boleh menonton, walaupun begitu tetap tergantung dari setiap orang menyikapi film-film yang ada, sampai saat ini film yang ditayangkan belum mampu mengoptimalkan fungsinya dan itu terkait dengan para si empunya film dan para pembuatnya yang harus benar-benar mempertimbangkan dampak dari hasil filmnya”tegasnya.
     
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar