Kamis, 04 November 2010

Bukan Zamannya Otoriter!!

Terlalu lamanya menunggu dosen untuk bimbingan, mahasiswa menganggap hal ini sebagai otoriter (Yanus).

"Sekarang Indonesia telah memasuki era demokrasi, di mana pluralisme serta kebebasan berpendapat dan berekspresi semakin dijunjung tinggi. Tak hanya di bidang politik, namun juga di bidang pendidikan. Dalam bidang pendidikan, contoh nyatanya adalah seorang dosen dituntut open minded terhadap mahasiswanya. Namun agaknya, terkadang hal itu tidak berlaku pada dosen tertentu, yang tetap mempertahankan sikap otoriter atau sewenang-wenang"

         Tipe ini cenderung beranggapan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya merupakan sebuah kebenaran mutlak, selanjutnya semua mahasiswa wajib mematuhinya. Sedikit saja ada perbedaan persepsi atau pendapat, sedikit banyak dapat dipastikan bahwa mahasiswa tersebut akan mengalami masalah.
Idealnya mahasiswa dapat terbantu dalam pencarian jati dirinya, bukan sebaliknya. Jika dosen tetap dengan egonya, proses transfer ilmu dan nilai dari ilmu tersebut dapat dipastikan akan tersumbat. Selama ini dosen cenderung hanya melakukan transfer ilmunya, tetapi mengabaikan nilai-nilai kearifan budaya dan agama yang dapat digali dari sebuah ilmu.
          Salah seorang mahasiswa tingkat akhir salah satu universitas di Yogyakarta, Tria mengungkapkan pendapatnya mengenai dosen otoriter. Dalam kasusnya, ia mencontohkan sikap otoriter dosen ditunjukkan ketika telah membuat jadwal bimbingan skripsi tetapi tidak bisa menepati agenda tersebut. Sehingga kadang hal tersebut membuat mahasiswa yang mau bimbingan dengan dosen itu menjadi tidak nyaman.
“Tapi ya mau bagaimana lagi. Mau tidak mau kita tetap membutuhkannya demi kelancaran bimbingan skripsi. bargaining position-nya lebih tinggi dari kita, sehingga mereka lebih mengutamakan dirinya daripada kelancaran bimbingan,” katanya pasrah.
         Ia menambahkan kebanyakan mahasiswa merasa tertekan atas sikap dosen yang demikian. Menurut dia, seharusnya dosen bisa mengerti dan menghargai mahasiswanya, bukan dengan seenaknya sendiri. Dengan demikian tidak ada yang akan merasa tertekan dan mempercepat pencapaian tujuan.
Lain halnya, Yopi Sylvarezqie, salah seorang mahasiswa Jurusan Teknik Kimia, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta. Menurut dia, tidak ada istilah dosen otoriter. Dikatakan, mahasiswa menganggap dosen sebagai seorang dengan sikap otoriter hanya karena belum memahaminya saja.
“Selama yang saya tahu, dosen yang dianggap demikian itu (otoriter-red) hanyalah menjalankan aturan dari universitas. Misalnya saja, jika peraturan universitas yang mengharuskan minimal 75  persen daftar hadir, lalu dosen tersebut mendisiplinkan mahasiswa maka tidak berarti dosen tersebut adalah seorang otoriter,” akunya. Hal ini juga berlaku untuk tugas maupun tata cara mengajar.
           Hal ini dibenarkan Dra Chr Sudyatmi, MM, Sekretaris Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Respati Yogyakarta (Unriyo). Dikatakan, sebenarnya tidak ada dosen otoriter lantaran setiap dosen memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing yang harus dilakukan. Misalnya mengajar, melakukan penelitian, dan melaksanakan pengabdian kepada masyarakat.
           Dalam hal pengajaran saja setiap dosen harus memiliki Satuan Acara Perkuliahan (SAP) sebelum membuat silabus. Sehingga sudah ada aturan yang berlaku sebelum memulai perkuliahan, mulai dari batas waktu keterlambatan, persentase penilaian, materi yang akan disampaikan, buku acuan yang digunakan, dan sebagainya. Hal itu dilakukan agar proses pembelajaran berjalan sesuai dengan peraturan yang ada. Kendati demikian diakui Sudyatmi seharusnya ke semuanya itu juga ada persetujuan dari mahasiswa.
”Oleh karena itu saya menyarankan kepada mahasiswa untuk mengikuti saja apa yang diinginkan dosen. Kemudian belajarlah mencintai pelajaran yang disampaikan dosen, jangan melihat dosen dalam diri pribadinya, tetapi dari apa yang disampaikannya. Selanjutnya berusahalah menerapkan metode belajar yang efisien,” saran dia.
Berwibawa
         Dosen yang baik adalah dosen yang bisa memosisikan diri tetap berwibawa dan dihormati tanpa harus bersikap otoriter. Selain itu harus terbuka dan menyenangkan tanpa harus kehilangan kewibawaannya di depan mahasiswa. “Diharapkan mahasiswa akan merasa nyaman jika sedang berhadapan dengan dosennya, dapat berinteraksi, berkomunikasi selama proses belajar mengajar maupun pada saat bimbingan skripsi,“ jelas Wakil Rektor I Bagian Akademik Unriyo, Dr Fransiska Lanni MS
Dia menambahkan, kewibawaan dibangun dari penguasaan ilmu, penampilan fisik, bahasa verbal, bahasa tubuh, dan konsistensi sikap terhadap mahasiswa. Sehingga diharapkan rasa disiplin yang muncul dari mahasiswanya terbangun sendiri karena rasa hormat, bukan karena rasa takut atau terpaksa.
Lebih lanjut Fransiska mengatakan setiap mahasiswa memang berbeda-beda dalam menyikapi keadaan sistem belajar mengajar. Sistem menilai orang pun berbeda-beda. Salah jika menganggap dosen yang demikian adalah dosen otoriter. Seorang dosen yang demikian justru adalah dosen yang mengajarkan cara disiplin. (tim Unriyo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar